Sumber daya manusia merupakan hal yang penting di dalam penanganan bukti elektronik yang benar. Standardisasi produk dan proses saja tidak memadai untuk penanganan bukti elektronik. Apalagi mengingat karakteristik bukti elektronik bersifat rentan (fragile), yaitu mudah diubah, dimanipulasi serta dimusnahkan bahkan mudah disebarluaskan sehingga menimbulkan masalah tentang keamanan data. Bila terjadi kesalahan prosedur atau human error dalam proses penanganannya maka potensial bukti dapat mengganggu proses penanganan perkara secara keseluruhan.
Kualifikasi dan kompetensi SDM yang menangani bukti merupakan faktor yang signifikan terhadap keberhasilan proses penanganan bukti elektronik. Istilah "A Man Behind The Gun" merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam penanganan bukti elektronik. Demikian juga terkait kapasitas ahli digital forensik yang diajukan di persidangan. Seringkali menjadi perdebatan mengenai kompetensi yang harus dimiliki seorang ahli forensik digital, sertifikasi manakah yang harus dimiliki, ataupun kualifikasi manakah yang harus dimiliki.
Kualifikasi dan kompetensi SDM yang menangani bukti merupakan faktor yang signifikan terhadap keberhasilan proses penanganan bukti elektronik. Istilah "A Man Behind The Gun" merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam penanganan bukti elektronik. Demikian juga terkait kapasitas ahli digital forensik yang diajukan di persidangan. Seringkali menjadi perdebatan mengenai kompetensi yang harus dimiliki seorang ahli forensik digital, sertifikasi manakah yang harus dimiliki, ataupun kualifikasi manakah yang harus dimiliki.
Dengan demikian untuk kehandalan penanganan bukti elektronik setidaknya ada 3 (tiga) standar yang harus dicapai yaitu (1) Standar produk, (2) Standar proses dan (3) Standar personal. Untuk standar produk dan proses diatur sesuai persyaratan dari Badan Standarisasi Nasional (BSN) yang dikenal dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI ini dapat dikembangkan sendiri oleh Indonesia maupun dapat merupakan adopsi langsung atau dapat juga adaptasi dari standar internasional yaitu ISO. Seperti halnya dengan SNI 27037:2014 yang berjudul Teknologi Informasi – Teknik Keamanan – Pedoman Identifikasi, pengumpulan, akuisisi, dan preservasi bukti digital adalah merupakan adopsi dari Standar Internasional ISO/IEC 27037:2012 Information technology — Security techniques — Guidelines for identification, collection, acquisition and preservation of digital evidence. Sedangkan untuk proses akreditasinya dilakukan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Untuk personel atau sumber daya manusia, berdasarkan aturan yang berlaku, maka standardisasi personal menerapkan aturan-aturan yang ditetapkan Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia. Untuk standar personal menggunakan standardisasi dan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Tantangannya adalah, sampai dengan saat ini belum ada kesepakatan yang tersedia yang bisa dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum dan hakim di dalam menentukan apakah seorang yang melakukan penanganan dan pengelolaan bukti elektronik berkompetensi. Ukuran memadai tidaknya seseorang sebagai ahli forensik digital belum ada aturan yang baku. Ketiadaan standar ini seringkali membuat aparat penegak hukum dan Hakim keliru dalam menilai kompetensi seorang, misalnya ahli jaringan dianggap ahli forensik jaringan, padahal belum tentu memiliki kompetensi tersebut.
Dengan kondisi konteks hukum nasional saat ini yang masih terdapat kekosongan pengaturan bukti elektronik khususnya untuk mencapai 3(tiga) standar penanganan bukti elektronik yang benar yaitu standar produk, standar proses dan standar personal, maka perlu pemikiran pengaturan yang parallel. Artinya dalam menyusun pengaturan teknis dan prosedur penanganan bukti elektronik yang standar juga harus disertai pengaturan tentang SDM-nya sebagai Pemeriksa Forensik Digital yang kompeten.
Dalam rangka mendorong adanya pengaturan penanganan bukti elektronik serta menindaklanjuti hasil webinar tentang Kerangka Hukum Pengaturan Bukti Elektronik di Indonesia waktu lalu, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerjasama dengan Kemitraan dan Asosiasi Forensik Digital Indonesia (AFDI) mengadakan webinar tentang Peta Okupasi Forensik Digital. Webinar ini diharapkan dapat diikuti oleh para perwakilan aparat penegak hukum khususnya serta praktisi digital forensic dan akademisi secara umum sebagai diskursus pentingnya pengaturan okupasi forensik digital untuk medapatkan SDM yang kompeten yang mampu berkontribusi dalam penanganan bukti elektronik sebagai bukti yang sah di persidangan demi penegakan hukum yang berkeadilan.
Tujuan webinar:
Untuk personel atau sumber daya manusia, berdasarkan aturan yang berlaku, maka standardisasi personal menerapkan aturan-aturan yang ditetapkan Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia. Untuk standar personal menggunakan standardisasi dan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Tantangannya adalah, sampai dengan saat ini belum ada kesepakatan yang tersedia yang bisa dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum dan hakim di dalam menentukan apakah seorang yang melakukan penanganan dan pengelolaan bukti elektronik berkompetensi. Ukuran memadai tidaknya seseorang sebagai ahli forensik digital belum ada aturan yang baku. Ketiadaan standar ini seringkali membuat aparat penegak hukum dan Hakim keliru dalam menilai kompetensi seorang, misalnya ahli jaringan dianggap ahli forensik jaringan, padahal belum tentu memiliki kompetensi tersebut.
Dengan kondisi konteks hukum nasional saat ini yang masih terdapat kekosongan pengaturan bukti elektronik khususnya untuk mencapai 3(tiga) standar penanganan bukti elektronik yang benar yaitu standar produk, standar proses dan standar personal, maka perlu pemikiran pengaturan yang parallel. Artinya dalam menyusun pengaturan teknis dan prosedur penanganan bukti elektronik yang standar juga harus disertai pengaturan tentang SDM-nya sebagai Pemeriksa Forensik Digital yang kompeten.
Dalam rangka mendorong adanya pengaturan penanganan bukti elektronik serta menindaklanjuti hasil webinar tentang Kerangka Hukum Pengaturan Bukti Elektronik di Indonesia waktu lalu, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerjasama dengan Kemitraan dan Asosiasi Forensik Digital Indonesia (AFDI) mengadakan webinar tentang Peta Okupasi Forensik Digital. Webinar ini diharapkan dapat diikuti oleh para perwakilan aparat penegak hukum khususnya serta praktisi digital forensic dan akademisi secara umum sebagai diskursus pentingnya pengaturan okupasi forensik digital untuk medapatkan SDM yang kompeten yang mampu berkontribusi dalam penanganan bukti elektronik sebagai bukti yang sah di persidangan demi penegakan hukum yang berkeadilan.
Tujuan webinar:
- Menjelaskan pentingnya pengaturan okupasi forensik digital untuk mencapai standar personel dalam penanganan bukti elektronik, dan
- Membuka peluang kesepakatan bersama tentang Okupasi Forensik Digital untuk bisa ditindaklanjuti dalam pengaturan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
- Dr. rer. nat. I Made Wiryana, S.Si, S.Kom, MSc (Penyusun SKKNI dan Peta Okupasi bidang TIK dan Kamsiber)
- Dra. Henny S. Widyaningsih, M.Si (Komisioner BNSP)
- Syofian Kurniawan, ST, M.T.I (Kepala Seksi Penyidikan, Dirjen APTIKA Kemenkominfo)
- Sari Wardhani
Download materi webinar:
2020-12-22-petaokupasiforensik-02.pdf |
bahan_bu_henny_webinar_forensik_digital_22.12.2020_zoom.pdf |
webinar_bbe_syofian_peta_okupasi.pdf |
Semoga bermanfaat.