Bukti elektronik memiliki karakteristik yang berbeda dengan bukti konvensional. Bukti elektronik membutuhkan penanganan khusus atau pemeriksaan yang benar, sehingga bukti tersebut tidak rusak dan tidak berubah integritas datanya. Karakteristik bukti elektronik lainnya adalah bersifat rentan (fragile), yaitu mudah diubah, dimanipulasi serta dimusnahkan bahkan mudah disebarluaskan sehingga menimbulkan masalah tentang keamanan data. Menurut UU ITE, bukti elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Agar dapat diterima sebagai bukti yang sah di persidangan, diperlukan pengaturan lebih lanjut terkait teknis dan prosedur perolehannya, proses akuisisi sampai dengan proses pengamanan bukti sehingga terjaga integritas datanya. Meskipun saat ini, bukti elektronik sudah dipergunakan dalam persidangan namun masih banyak ditemui permasalahan baik dari kapasitas aparat penegak hukum dalam proses penanganan bukti maupun dari sisi regulasi tentang tata kelola bukti elektronik termasuk tentang penanganan, pemeriksaan dan penghapusan atau pemusnahan data bukti elektronik.
Agar dapat diterima sebagai bukti yang sah di persidangan, diperlukan pengaturan lebih lanjut terkait teknis dan prosedur perolehannya, proses akuisisi sampai dengan proses pengamanan bukti sehingga terjaga integritas datanya. Meskipun saat ini, bukti elektronik sudah dipergunakan dalam persidangan namun masih banyak ditemui permasalahan baik dari kapasitas aparat penegak hukum dalam proses penanganan bukti maupun dari sisi regulasi tentang tata kelola bukti elektronik termasuk tentang penanganan, pemeriksaan dan penghapusan atau pemusnahan data bukti elektronik.
Terkait regulasi, mengacu kepada hasil Kajian tentang Pengaturan Penanganan Bukti Elektronik yang dilakukan Kemitraan dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LelP) pada tahun 2018-2019, setidaknya terdapat 7 (tujuh) masalah utama yang ditemukan dalam pengaturan perolehan maupun penanganan bukti elektronik di Indonesia yaitu:
Disisi lain, kecanggihan teknologi informasi dan globalisasi juga mempengaruhi trend tindak pidana yang menggunakan teknologi sebagai piranti kejahatannya. Apalagi transnational crime yang kian marak seperti tindak pidana korupsi, pencucian uang, penyelundupan manusia atau narkoba, serta kejahatan siber maupun terrorism mengharuskan setiap prosedur penanganan bukti elektronik harus mengacu kepada standar internasional sehingga mempermudah pengungkapan perkara bila terjadi pada lintas yuridiksi.
Salah satu standar internasional terkait penanganan bukti elektornik adalah ISO/IEC 27037:2012 Information technology— Security techniques — Guidelines for identification, collection, acquisition and preservation of digital evidence. ISO/IEC 27037 memberikan panduan spesifik terkait aktivitas penanganan bukti elektronik yang meliputi kegiatan Identification, Collection, Acquisition, dan Preservation. Kesemua proses tersebut merupakan proses penting yang harus dilakukan secara hati-hati untuk tetap menjaga integritas bukti elektronik. Metodologi yang digunakan dalam memperoleh dan mengumpulkan bukti elektronik akan sangat berpengaruh terhadap diterima atau tidaknya bukti elektronik tersebut di pengadilan. Saat ini ISO/IEC 27037:2012 telah diadopsi menjadi SNI 27037:2014 yang berjudul Teknologi Informasi - Teknik Keamanan - Pedoman Identifikasi, pengumpulan, akuisisi, dan preservasi bukti digital.
Dengan kondisi konteks hukum nasional saat ini yang masih terdapat kekosongan pengaturan bukti elektronik khususnya yang bersifat teknis, ISO/SNI 27037 menjadi acuan penting dalam rangka menyusun prosedur penanganan bukti elektronik yang standar sehingga bisa menjadi pedoman bagi setiap aparat penegak hukum didalam penanganan bukti elektronik.
Dalam rangka mendorong adanya pengaturan teknis serta tersusunnya prosedur operasional baku tentang penanganan bukti elektronik di apgakum serta menindaklanjuti hasil webinar tentang “Urgensi Kerangka Hukum Pengaturan Bukti Elektronik di Indonesia” pada tanggal 8 juli 2020 yang lalu, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerjasama dengan Kemitraan dan Asosiasi Forensik Digital Indonesia mengadakan webinar tentang Pengaturan Teknis Penanganan Bukti Elektronik Berdasarkan ISO/SNI 27037. Webinar ini diharapkan dapat diikuti oleh para perwakilan penegak hukum khususnya penyelidik dan penyidik serta praktisi digital forensic sebagai diskursus pentingnya pengaturan teknis penanganan bukti elektronik untuk dapat menjadi bukti yang sah di persidangan demi penegakan hukum yang berkeadilan.
Webinar ini bertujuan untuk:
Narasumber webinar:
Moderator webinar adalah:
- Kesalahpahaman terhadap bukti elektronik yang dimaknai sebagai perangkat elektronik dan bukannya data yang terkandung di dalamnya. Sementara baik secara definisi maupun karakternya bukti elektronik merupakan data. Fisik perangkat elektronik yang disita masih dipahami sebagai alat bukti, bukan barang bukti. Penentuan barang bukti ataupun alat bukti akan memiliki konsekuensi hukum apakah bukti elektronik hanya diakui pada tindak pidana yang dimuat dalam UU ITE maupun undang-undang yang mengakui adanya alat bukti elektronik atau pada seluruh tindak pidana.
- Kesalahpahaman dalam menafsirkan definisi dan kedudukan bukti elektronik memiliki konsekuensi dalam prosedur perolehannya. Selama ini belum ada prosedur khusus penggeledahan sistem elektronik yang membedakan antara penyitaan perangkat elektronik dan data elektronik sebagai bukti elektronik. Demikian pula tata cara perolehan bukti elektronik yang menjamin terjaganya integritas data elektronik.
- Belum adanya pengaturan standar kualifikasi ahli yang dapat melakukan pemeriksaan serta analisis terhadap bukti elektronik maupun sebagai ahli dalam persidangan.
- Belum adanya pengaturan teknis yang standar terkait pengelolaan bukti elektronik yang meliputi penyimpanan serta perlakuan terhadap data yang tidak relevan dengan perkara.
- Pemahaman pentingnya dokumen chain custody sebagai dokumentasi detil terhadap setiap tindakan yang telah dilakukan oleh pihak yang menangani bukti elektronik sejak perolehannya hingga dibawa ke persidangan belum terinternalisasi dengan benar.
- Tidak ada standar penyajian bukti elektronik di persidangan. Dalam praktiknya, penyajian bukti elektronik dalam persidangan masih dilakukan berbeda-beda oleh jaksa maupun penerimaannya oleh hakim.
- Belum ada pengaturan terkait retensi data termasuk apa yang harus dilakukan terhadap status bukti elektronik yang telah disita dan mendapatkan status dalam putusan pengadilan.
Disisi lain, kecanggihan teknologi informasi dan globalisasi juga mempengaruhi trend tindak pidana yang menggunakan teknologi sebagai piranti kejahatannya. Apalagi transnational crime yang kian marak seperti tindak pidana korupsi, pencucian uang, penyelundupan manusia atau narkoba, serta kejahatan siber maupun terrorism mengharuskan setiap prosedur penanganan bukti elektronik harus mengacu kepada standar internasional sehingga mempermudah pengungkapan perkara bila terjadi pada lintas yuridiksi.
Salah satu standar internasional terkait penanganan bukti elektornik adalah ISO/IEC 27037:2012 Information technology— Security techniques — Guidelines for identification, collection, acquisition and preservation of digital evidence. ISO/IEC 27037 memberikan panduan spesifik terkait aktivitas penanganan bukti elektronik yang meliputi kegiatan Identification, Collection, Acquisition, dan Preservation. Kesemua proses tersebut merupakan proses penting yang harus dilakukan secara hati-hati untuk tetap menjaga integritas bukti elektronik. Metodologi yang digunakan dalam memperoleh dan mengumpulkan bukti elektronik akan sangat berpengaruh terhadap diterima atau tidaknya bukti elektronik tersebut di pengadilan. Saat ini ISO/IEC 27037:2012 telah diadopsi menjadi SNI 27037:2014 yang berjudul Teknologi Informasi - Teknik Keamanan - Pedoman Identifikasi, pengumpulan, akuisisi, dan preservasi bukti digital.
Dengan kondisi konteks hukum nasional saat ini yang masih terdapat kekosongan pengaturan bukti elektronik khususnya yang bersifat teknis, ISO/SNI 27037 menjadi acuan penting dalam rangka menyusun prosedur penanganan bukti elektronik yang standar sehingga bisa menjadi pedoman bagi setiap aparat penegak hukum didalam penanganan bukti elektronik.
Dalam rangka mendorong adanya pengaturan teknis serta tersusunnya prosedur operasional baku tentang penanganan bukti elektronik di apgakum serta menindaklanjuti hasil webinar tentang “Urgensi Kerangka Hukum Pengaturan Bukti Elektronik di Indonesia” pada tanggal 8 juli 2020 yang lalu, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerjasama dengan Kemitraan dan Asosiasi Forensik Digital Indonesia mengadakan webinar tentang Pengaturan Teknis Penanganan Bukti Elektronik Berdasarkan ISO/SNI 27037. Webinar ini diharapkan dapat diikuti oleh para perwakilan penegak hukum khususnya penyelidik dan penyidik serta praktisi digital forensic sebagai diskursus pentingnya pengaturan teknis penanganan bukti elektronik untuk dapat menjadi bukti yang sah di persidangan demi penegakan hukum yang berkeadilan.
Webinar ini bertujuan untuk:
- Menjelaskan pentingnya pengaturan teknis penanganan bukti elektronik yang standar untuk mengantisipasi potensi tidak sahnya bukti elektronik yang dapat mengakibatkan terganggunya suatu penanganan perkara secara keseluruhan atau terjadinya upaya gugatan balik, dan
- Mensosialisasikan ISO/SNI 27037 sebagai salah satu referensi pengaturan teknis penanganan bukti elektronik
Narasumber webinar:
- Teguh Arifiyadi, SH, MH (Kasubdit Penyidikan dan Penindakan Direktorat Jenderal Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo)
- Herman Fransiskus Aritonang, SH, MH, (Pemeriksa Digital Forensik Laboratorium Forensik Digital Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim POLRI)
- alm. Ir. Roni Sadrah MT, MBA, ENCE (Praktisi Forensik Digital, Anggota Dewan Pakar AFDI)
Moderator webinar adalah:
- Afief Yulian Miftach (Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi)
Download Materi webinar:
iso_27037_bukti_elektronik_zoom_agustus_2020_-_teguh_a.pdf |
iso_27037_v2-herman_frans.pdf |
roni_sadrah_-_iso_sni_27037_-_posisi_ahli_forensik_digital_-_revisi.pdf |
Semoga bermanfaat.