Perkembangan teknologi berdampak signifikan terhadap semua lini kehidupan, tak terkecuali penegakan hukum. Perkembangan teknologi juga berimplikasi pada kesiapan kerangka hukum berupa pengaturan terhadapnya, salah satunya adalah kerangka hukum pengaturan bukti elektronik di Indonesia. Pada awalnya, respon hukum terhadap keberadaan bukti elektronik diatur dalam Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa bukti elektronik sebagai bukti petunjuk. Menyusul Undang-Undang lain yang mengakui keberadaan bukti elektronik sebagai alat bukti. Misalnya, UU No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (diperbaharui dengan UU no 5 tahun 2018), UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, UU No. 21 tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia, dan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara di Indonesia, sejak itu penggunaan bukti elektronik menjadi hal yang lumrah digunakan dalam persidangan berbagai tindak pidana di Indonesia.
Bukti elektronik memiliki karakteristik yang berbeda dengan bukti konvensional antara lain: 1) membutuhkan alat khusus untuk melihat/membacanya, yang terdiri dari perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). 2) bersifat rentan (fragile), yaitu mudah diubah, dimanipulasi serta dimusnahkan. Bukti elektronik juga membutuhkan perangkat khusus baik sebagai media penyimpanannya maupun perangkat khusus untuk membacanya. Perangkat elektronik itu sendiri terdiri dari berbagai jenis dengan memiliki karakteristik kekhasan masing-masing, yaitu perangkat elektronik dalam bentuk computer, mobile phone serta jaringan.
Dengan karakteristik di atas, penanganan atas bukti elektronik harus dilakukan secara khusus untuk menjaga integritas data yang dikandungnya sehingga bukti elektronik dapat diajukan sebagai bukti yang sah di persidangan. Secara standard internasional terdapat 4 prinsip dasar penanganan bukti elektronik, yaitu: 1) terpeliharanya integritas data, 2) adanya personel yang memiliki kompeten, 3) terpeliharanya chain of custody, dan 4) kepatuhan terhadap regulasi.
Di Indonesia, walaupun KUHAP mengatur secara limitatif mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah dalam Pasal 184 Ayat (1), namun aturan perolehan bukti dalam KUHAP tidak dapat digunakan dalam perolehan bukti elektronik karena karakteristiknya yang mudah berubah, dapat dimanipulasi, dan bersifat laten serta memerlukan metode khusus didalam membaca informasi atau data yang dikandungnya. Selain itu, penting untuk mencermati bagaimana perlakuan terhadap data yang tidak relevan dan perlindungan pemilik data terhadap penyalahgunaan atas data tersebut sehingga melindungi hak-hak privasinya terhadap orang yang bersangkutan.
Dengan kondisi konteks hukum nasional saat ini, masih terdapat beberapa permasalahan terkait bukti elektronik. Permasalahan tersebut antara lain adalah terkait 1) kedudukan bukti elektronik secara hukum, 2) perolehan bukti elektronik, 3) pengelolaan bukti elektronik, 4) pemeriksaan bukti elektronik di persidangan, hingga 5) status hukum bukti elektronik pasca persidangan.
Dalam rangka mendorong adanya pengaturan bukti elektronik tersebut di atas baik pada tingkat undang-undang maupun peraturan pelaksana, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerjasama dengan Kemitraan dan Asosiasi Forensik Digital Indonesia (AFDI) mengadakan webinar terkait hasil kajian tentang kerangka hukum bukti elektronik yang merupakan hasil penelitian dari LEIP dan Kemitraan pada tahun 2019 yang lalu. Webinar ini diharapkan dapat diikuti oleh para perwakilan penegak hukum, praktisi digital forensic, serta akademisi untuk membuka cakrawala pengetahuan terkait pentingnya pengaturan hukum bukti elektronik sehingga efektif digunakan dalam pembuktian di persidangan demi penegakan hukum yang berkeadilan.
Webinar ini bertujuan untuk:
Narasumber webinar adalah:
Dengan karakteristik di atas, penanganan atas bukti elektronik harus dilakukan secara khusus untuk menjaga integritas data yang dikandungnya sehingga bukti elektronik dapat diajukan sebagai bukti yang sah di persidangan. Secara standard internasional terdapat 4 prinsip dasar penanganan bukti elektronik, yaitu: 1) terpeliharanya integritas data, 2) adanya personel yang memiliki kompeten, 3) terpeliharanya chain of custody, dan 4) kepatuhan terhadap regulasi.
Di Indonesia, walaupun KUHAP mengatur secara limitatif mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah dalam Pasal 184 Ayat (1), namun aturan perolehan bukti dalam KUHAP tidak dapat digunakan dalam perolehan bukti elektronik karena karakteristiknya yang mudah berubah, dapat dimanipulasi, dan bersifat laten serta memerlukan metode khusus didalam membaca informasi atau data yang dikandungnya. Selain itu, penting untuk mencermati bagaimana perlakuan terhadap data yang tidak relevan dan perlindungan pemilik data terhadap penyalahgunaan atas data tersebut sehingga melindungi hak-hak privasinya terhadap orang yang bersangkutan.
Dengan kondisi konteks hukum nasional saat ini, masih terdapat beberapa permasalahan terkait bukti elektronik. Permasalahan tersebut antara lain adalah terkait 1) kedudukan bukti elektronik secara hukum, 2) perolehan bukti elektronik, 3) pengelolaan bukti elektronik, 4) pemeriksaan bukti elektronik di persidangan, hingga 5) status hukum bukti elektronik pasca persidangan.
Dalam rangka mendorong adanya pengaturan bukti elektronik tersebut di atas baik pada tingkat undang-undang maupun peraturan pelaksana, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerjasama dengan Kemitraan dan Asosiasi Forensik Digital Indonesia (AFDI) mengadakan webinar terkait hasil kajian tentang kerangka hukum bukti elektronik yang merupakan hasil penelitian dari LEIP dan Kemitraan pada tahun 2019 yang lalu. Webinar ini diharapkan dapat diikuti oleh para perwakilan penegak hukum, praktisi digital forensic, serta akademisi untuk membuka cakrawala pengetahuan terkait pentingnya pengaturan hukum bukti elektronik sehingga efektif digunakan dalam pembuktian di persidangan demi penegakan hukum yang berkeadilan.
Webinar ini bertujuan untuk:
- Mendiseminasikan kembali hasil kajian berupa gap analisis pengaturan bukti elektronik,
- Menjelaskan urgensi pengaturan bukti elektronik dalam penegakan hukum terkait pembuktian di persidangan, dan
- Mendapatkan masukan dari peserta webinar terkait kerangka hukum bukti elektronik.
Narasumber webinar adalah:
- Bapak Arsil (Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LelP))
- Bapak DR. Asri Agung Putra, SH, MH (Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta)
- Ibu DR. Sudharmawati Ningsih, SH, M.Hum (Panitera Mahkamah Agung)
- Bapak Izazi Mubarok, SST, MSc, CHFI, CEH, CISA, MCFE, CCO, CCPA, OFCE, CDSS, (Ketua Asosiasi Forensik Digital Indonesia)
- Ibu Prahesti Pandanwangi, SH, SpN, LLM (Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas)
- Bapak Laode M. Syarif, PhD (Direktur Eksekutif Kemitraan)
Download Materi Webinar:
perolehan_pemeriksaan_dan_pengelolaan_bukti_elektronik_LeIP.pdf |
perbandingan_prosedur_pengelolaan_bukti_elektronik_LeIP.pdf |
pentingnya_manajemen_bukti_elektronik_bagi_efektifitas_penyidikan_Kajaksaan.pdf |
pentingnya_pengaturan_bukti_elektronik_untuk_mendukung_admissibility_MA.pdf |
peran_saksi_ahli_terkait_bukti_elektronik_dalam_pembuktian_perkara_AFDI.pdf |
pengaturan_bukti_elektronik_untuk_mencapai_kepastian_hukum_Bapenas.pdf |
Semoga bermanfaat.